Kuryokalangan (Legenda dan Sejarah)

Kuryokalangan (Legenda dan Sejarah)

30 Apr @Kolom

OLEH: Khoeri Abdul Muid

(Putra Desa Kuryokalangan)

Tiguna atau sering dikenal sebagai Bekel Tiguna atau Ki Tiguna alias Mbah Sirna adalah anak Ki Guna Reksaka. Sementara Ki Guna Reksaka ialah seorang prajurit pelatih kuda (Abdi Panegar) Kerajaan Pajang era Sultan Hadiwijaya / Jaka Tingkir (1568-1586M).

Ayah Tiguna ini merupakan orang kepercayaan dan masih kerabat Ki Penjawi, yang bila ditelusur lebih jauh sesungguhnya mereka merupakan keturunan Adipati Pati, Kayu Bralit I,II,III (1331-1518M), yakni adipati pasca era Tandanegara dan sebelum Penjawi.

Sehingga pengabdian Ki Guna Reksaka dan Tiguna mendampingi Ki Penjawi menerima hadiah bumi Pati dan menjadi Adipati Pati atas jasanya menumpas musuh Sultan Hadiwijaya (Arya Penangsang, Jipang) pada tahun 1549M itu merupakan peristiwa ‘kebo mulih/diulihke ing kandhange’ (pulang kampung). Karena sesungguhnya mereka merupakan ‘thik iyik’ pribumi Pati.

Singkat cerita. Pada masa pemerintahan Adipati Pati ke-7, Pragola I / Wasis Jayakusuma bin Penjawi (1577-1601M) Tiguna merupakan pimpinan prajurit berkuda (Bekel Kusumatali) di Kadipaten Pati yang ikut serta dalam kancah perang Pati-Mataram I (1600M).

Berlanjut pada awal era pemerintahan Adipati Pati ke-8, Pragola II / Jayakusuma bin Wasis Jayakusuma (1601-1628M) Tiguna naik pangkat. Di samping dianugerahi sebagai Bekel Kusumatali ia juga diangkat sebagai pengawal raja (Narpa Cundhaka) dan diberi ‘bumi lungguh’ (daerah kekuasaan terbatas) berupa Alas Bokong Semar. Letaknya di selatan Bengawan Silugangga (sungai Juwana). Dan, diapit oleh sungai Jethis dan sungai Guder.

Anugerah dan hadiah tersebut sebenarnya di samping mempertimbangkan prestasi Tiguna juga karena mengingat akan jasa ayahnya, Ki Guna Reksaka ketika membantu Ki Penjawi dan Ki Pemanahan menghadapi Arya Penangsang. Ketika itu Ki Guna Reksaka yang memang ahli kuda ialah pemiliki ide penggantian kuda tunggangan Sutawijaya (si eksekutor perang) dengan kuda betina yang dicukur gundul ekornya agar merusak konsentrasi kuda jantan Arya Penangsang sehingga sulit dikendalikan. Dan, itu memang salah satu faktor kunci kemenangan Ki Penjawi dkk atas Jipang Kang.

Pada akhir tahun 1600M pembukaan (babad) alas Bokong Semar dimulai. Tiguna dibantu oleh kakak dan adik seperguruannya di Perguruan Sunan Muria Rahtawu. Yakni Ki Mundri dari Pasuruan (Kayen) dan Anggajaya alias Nggajaya alias Si Nggajaya alias Singojoyo, si mantan preman Bate Alit (Jepara).

Pada tahun 1601M pembukaan alas Bokong Semar mencapai sepertiga bagian di selatan yang kemudian oleh Tiguna atas nasihat Sunan Kalijaga (guru pertamanya) dijadikan (didirikan) desa yang diharapkan menjadi desa yang baik atau qoryah thoyyibah. Maka didirkanlah desa Kuryo, deformasi dari kata qoryah.

Sementara itu, dua pertiga selebihnya, di bagian utara, atas saran Sunan Muria (guru keduanya) diberikan kepada Anggajaya yang pada tahun 1602M dijadikan desa: desa Kalangan. Konon karena ketika Tiguna, Ki Mundri dan Anggajaya sedang mengadakan selamatan syukuran atas selesainya babad alas Bokong Semar, kebetulan membaersamai rembulan sedang berfase purnama dan menimbulkan hello bulan atau dalam bahasa Jawanya disebut kalangan. Maka terceritakanlah desa yang diberikan kepada Anggajaya itu oleh Tiguna disebut desa Kalangan.

Tersebutlah Tiguna memimpin desa Kuryo dengan pangkat Ki Gedhe Kuryo. Sementara pangkat Bekel Kusumatali dan Narpa Cundhaka-nya diserahkan kembali kepada Adipati Jayakusuma. Dan, Anggajaya pun demikian, berpangkat Ki Gedhe Kalangan.

Pada tahun 1627 Ki Tiguna wafat. Dan, tampuk pemerintahan Desa Kuryo digantikan oleh anaknya, yakni Tiguna II dan selanjutnya berestafet ke keturunannya, yaitu Tiguna III hingga tahun 1722M.

Sejak 1722-1810M kepemimpinan desa Kuryo dipangku oleh Petinggi Kasat, kemudian tahun 1810-1843M Petinggi Kalidin, tahun 1843-1902M Petinggi Kasman. Dan, pada tahun 1902M, oleh Petinggi Krama Rajiman.

Sementara itu Desa Kalangan dipimpin oleh Ki Anggajaya. Dan, terakhir hingga pada tahun 1902M dijabat oleh Petinggi Sondho.

Desa Kuryokalangan

Pada tahun 1902M Sondho, Petinggi Kalangan wafat. Tapi oleh Wedana Gabus ---pada saat itu Gabus berkedudukan sebagai kawedanan--- kekosongan jabatan petinggi Kalangan tidak diisi. Tapi justru pada tahun 1902M itu pula Wedana Gabus malah memensiunkan dini Petinggi Desa Kuryo, Krama Rajiman yang praktis baru 100 hari menjabat.

Wedana Gabus berkehendak menggabungkan (memarger) desa Kuryo dan desa Kalangan, menjadi desa Kuryokalangan. Sementara itu desa Kuryo dan desa Kalangan turun status menjadi dukuh Kuryo dan dukuh Kalangan.

Pada tahun 1902M itu pula diselenggarakan pemilihan petinggi untuk desa ‘baru’, desa Kuryokalangan. Calonnya ada tiga. Yakni, Kadiman yang merupakan paman mantan Petinggi Kuryo, Krama Rajiman. Kedua, Kiso dari Kalangan. Dan, Kurdi, adik Kiso.

Pemilihannya dilakukan dengan teknik ‘buntutan’, yaitu memilih dengan cara baris di belakang calon yang didukung. Sementara itu pemilih atau yang punya hak memilih (hak pilih aktif) adalah kepala keluarga yang punya bakon (sawah hak milik).

Pada awalnya Kadiman menang. Tetapi melihat keadaan itu Kurdi kemudian mengundurkan diri. Sehingga para pemilihnya bubar pindah pilihan. Dan, Kiso, kakaknya pun berbalik unggul. Maka tercatatlah petinggi pertama desa Kuryokalangan ialah Petinggi Kiso.

Pada tahun 1936 Petinggi Kiso wafat. Kemudian diadakan calonan petinggi yang hanya diikuti oleh 2 kandidat, yakni Dero dan Sadiyo, adik almarhum Petinggi Kiso. Dan, hasilnya dimenangkan oleh Sadiyo.

Pada tahun 1943 Petinggi Sadiyo wafat. Sehingga pada tahun itu pula diadakan calonan petinggi. Saat itu diikuti oleh 5 calon. Yakni, satu, Dero yang pada pemilu periode lalu kalah. Dua, Kahar. Tiga, Karsono bin Makruf. Empat, Guru Darnawi, seorang pendatang dari daerah Juwana. Lima, Mulyadi, yang belakangan ‘ntolorong’ pindah dan menjadi Petinggi di Mojolawaran.

Proses pemilihan pada saat itu sudah menggunakan media ‘biting’ yang dimasukkan ke dalam bumbung. Dan, kali itu dimenangkan oleh Dero.

Pada awal tahun 1945M, Petinggi Dero yang praktis baru menjabat 2 tahun diberhentikan oleh pemerintahan kolonial Jepang melalui program ‘siapan’-nya. ‘Siapan’ yaitu pemberhentian bersama-sama seluruh kepala desa di Jawa dan segera diadakan pemilihan baru.

Maka pada awal tahun 1945M diadakan pemilu desa lagi. Kahar dan eks petahana, Dero kembali ikut. Dan, kontestan baru, H. kambali dan Mangun dari Kuryo juga ikut meramaikan pemilihan. Hasilnya sungguh mendebarkan. Karena selisih pemenang kesatu dan kedua hanya satu biting! Yakni Dero mendapat 91. Dan, Mangun 90. Sementara Kahar dan H. Kambali masing-masing memperoleh sekitar 30-an. Dan, dengan demikian Petinggi Dero menjabat kembali.

Pada tahun 1972M Petinggi Dero lengser dan digantikan oleh Petinggi Subandi yang merupakan petinggi Desa Kuryokalangan yang pertama-tama kalinya berasal dukuh Kuryo.

Selanjutnya 1988M Petinggi Subandi digantikan Petinggi Suhud. Pada 1993M berlanjut ke Petinggi Muhamadun. Dan, berikutnya Petinggi Sutrimo serta kini Petinggi Didik Hermanto.

Demikianlah. Kuryokalangan dalam lintasan sejarah merupakan catatan kecil sejarah demokrasi di Indonesia yang relative menarik.

Mula-mula ia mengalami suasana monarki. Kemudian tertatih-tertatih belajar dengan cara berpraktik langsung soal sistem politik ‘baru’, aplikasi demokrasi.

Pemilu desa sebagai aplikasi demokrasi yang sering dikenal juga dengan istilah ‘calonan petinggen’ itu dilaksanakan dengan pendekatan kontekstual, yaitu sesuai dengan keadaan dan suasana yang ada.

Awalnya dengan teknik ‘buntutan’, kemudian berkembang dengan alat bantu ‘biting’ dan sebagaimana sekarang, bermedia kertas. Mungkin besok bersistem elektrik.

Dalam konteks demokrasi itu ada juga fenomena menarik di lintasan sejarah Kuryokalangan. Yakni adanya fenomena pemekaran wilayah (alas bokong semar dibagi dua, Kuryo dan Kalangan) dan sekaligus fenomena penggabungan wilayah (Kuryo dan kalangan), ---di mana hal itu lazim (trend) terjadi pada era sekarang, demi efisiensi dan efektifitas pembangunan.

Hak pilih dalam pemilu juga tampak mengalami perkembangan menarik. Hak pilih aktif (memilih) mengalami perkembangan cukup mencolok. Karena semula hanya dimiliki oleh kepala keluarga yang ber-‘bakon’ (bersawah hak milik) saja hingga sekarang berubah menjadi ‘one man one vote’. Hak pilih pasif-pun juga mengalami variasi yang unik, dimana seseorang yang bukan penduduk setempat bisa saja menjadi kandidat dalam pemilu, yaitu memiliki hak dipilih tetapi tidak memiliki hak memilih. Fenomena ini disebut dengan istilah ‘ntlorong’.

Akhirnya, pendek kata, banyak hikmah yang bisa dipetik dari legenda dan sejarah Kuryokalangan. Namun demikian, perbaikan dan penyempurnaan data serta penajaman analisa masih sangat diharapkan.

Terimakasih. Salam dari penulis! #

Catatan:

Tulisan ini merupakan hasil dari penelitian sederhana penulis dengan metode pengamatan, wawancara dan penelitian pustaka yang dilakukan bertahun-tahun.

Sumber Pustaka:

1. Ahmadi, S.Pd., dkk. (2004).Sejarah Pati. Pati: Dinas Pendidikan Kabupaten Pati.

2. Djoko Dwiyanto, Drs., M.Hum. (2008). Ensiklopedi Centhini. Yogyakarta: Panji Pustaka.

3. Graaf, H.J., (1985). Awal Kebangkitan Mataram. Jakarta: PT. Grafiti Pers.

4. Kalamwadi, Ki. (1990). Serat Darmagandhul. Semarang: Dahara Prize.

5. Kertapradja, Ngabehi. (1987). Babad Tanah Djawi.Dordrecht – Holland/Providence – USA: Foris Publications.

6. Slametmuljana, Prof., DR. (1968). Runtuhnya Keradjaan Hindu Djawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. Djakarta: Bhratara.

7. Slametmuljana, Prof., DR. (1983). Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit. Jakarta: Inti Idayu Press.

8. Soedjipto Abimanyu. (2013). Babad Tanah Jawi. Yogyakarta: Laksana.

9. Sosro Sumanto, KM. & Dibyosudiro. (1980). Serat Babad Pati. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Proyek Pengadaan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.

Comments

  1. Saya mengapresiasi karya mas abdul muid. Bisa digali untuk desa desa yang lain

    ReplyDelete
  2. Terima kasih, Pak Kastowo. Insyaalloh bisa pak.....

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog